Seghimol

Seghimol
'Seghimol' dalam bahasa Lampung yang berarti Srigala. Hewan ini ternyata juga hidup di Lampung, dan menjadi musuh warga yang peternak ayam atau unggas lainnya. Tapi seghimol juga menjadi hewan penjaga yang sangat berani. Asal jangan jadi 'Seghimol Bukawai Napuh'

Selasa, 29 Agustus 2017

Malaman Pitu Likukh

Lampost.co -- Tradisi malaman pitu likukh sudah dimulai sejak zaman kuno. Namun tradisi ini tetap lestari hingga kini, meskipun ada sedikit penyesuaian di sana-sini sebagai bentuk adaptasi dari perubahan zaman.

Zaman Sekala Bkhak Kuno
Pada masa kekuasaan Ratu Sekekhummong, setiap bulan bakha pak belas di bulan Hali (purnama ke-14 pada bulan 11) dilakukan upacara persembahan kepada sang Dewa. Upacara ini dikenal dengan upacara ikhau. Upacara tersebut dipimpin langsung oleh sang Ratu Agung yang dikenal sakti mandraguna. Untuk pelaksanaan upacara ikhau, Ratu Sekekhummong menitahkan agar seluruh negeri Sekala Bkhak dibuat terang benderang.
Oleh karena itu, untuk menghadapi upacara ikhau seluruh penduduk negeri dari jauh-jauh hari telah mengumpulkan batok kelapa sebanyak-banyaknya, seakan berlomba untuk menyuguhkan yang terbaik pada malam tersebut. Tiba bulan purnama, seluruh negeri terang benderang, dari atas disirami cahaya bulan nan indah, sedangkan di bawah pada setiap rumah penduduk terdapat penerangan dari tiga, empat, bahkan ada yang sampai tujuh titik batok kelapa.
Batok kepala itu disusun setinggi 1—2 meter, diperhitungkan baru padam menjelang terbitnya sang fajar. Malam itu begitu indah dan meriah karena ada tabuh-tabuhan, tarian, dan rapal mantra pujian kepada Dewa. Di sisi lain, malam itu juga mencekam karena pada malam itu seorang gadis suci nan jelita pilihan para pembesar negeri akan dikurbankan sebagai persembahan kepada Dewa. Sekiranya persembahan tersebut diterima, mereka meyakini bahwa pada malam satu Temu (malam pertama bulan dua belas) para Dewa akan menurunkan tujuh bidadari.
Oleh karena itulah pada malam satu Temu di negeri Sekala Bkhak kembali dilakukan Benderang Negeri dengan membakar batok kelapa, tetapi dengan suasana yang hening untuk menyambut turunnya tujuh bidadari. Zaman Paksi Pak Sekala Bkhak/Islam Seiring dengan masuknya Islam di bumi Sekala Bkhak, Sekala Bkhak kuno mengalami keruntuhan dan berdirilah Paksi Pak Sekala Bkhak dengan keyakinan yang baru, yaitu Islam. (baca juga : lampost.co)
Upacara ini tetap terwariskan, tetapi sudah bernuansa islami dengan sebutan baru malaman pitu likukh. Di bawah pimpinan Empat Umpu yang diangkat menjadi saibatin (pemimpin tertinggi di masing-masing kepaksian) dilakukan juga benderang negeri dengan membakar batok kelapa pada setiap malam 27 Ramadan, menyambut turunnya para malaikat ke bumi yang menandai malam lailatulkadar. (baca kuga : https://goo.gl/eugCPp)
Saibatin berkumpul dengan para penduduk negeri guna melakukan puja-puji keharibaan Allah swt, bermunajat bagi keselamatan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Pada malam menjelang 1 Syawal, yang disebut malaman buka dibi kembali dilakukan benderang negeri dan seluruh penduduk negeri diimbau berkumpul di masjid dan surau-surau untuk melantunkan takbir, tahmid, dan zikir.
Pada malam itu saibatin menitahkan agar seluruh penduduk negeri melakukan mandi di waktu subuh, bukan untuk menyambut kehadiran tujuh bidadari, tetapi mandi bulimau/keramas untuk melakukan salat id.

Sumber : https://goo.gl/F9gmaJ

Pulangkan Jimat

JIMAT biasanya dikenal sebagai benda yang diyakini membawa keberuntungan atau mendorong apa yang diinginkan empunya. Namun bagimana jika jimat itu berpindah tangan. Nah... api gunani injuk mekhekheno, aga jadi bala gawoh (Nah... apa gunanya seperti itu, justru bakal menjadi kesialan). Mungin itu yang terpikir oleh seorang veteran Korps Marinir Perang Dunia II yang mengembalikan jimat tentara Jepang. Jimat itu sebuah bendera yang diambilnya dari mayat seorang tentara Jepang yang tewas di Saipan pada 1944. (baca juga wwg di lampost.co) Seperti dilansir UPI, bendera itu milik prajurit yang dirancang militer Jepang sebagai jimat keberuntungan. Veteran itu mengembalikan jimat kepada adik laki-laki dan dua saudara perempuan pemiliknya. Nay ya tiulangko gawoh ana, mak dok angkuhni jam aniku. Wat-wat gawoh (Iyalah kembalikan saja, tidak ada gunanya denganmu. Ada-ada saja). sumber : https://goo.gl/zKiWK2

Minggu, 27 Agustus 2017

Janji Sebudi

SEMBARI duduk di kursi dalam kamarnya, Kacung menggumamkan Hahiwang yang baru saja di bacanya dalam tulisan H Fauzi Fattah, dosen UIN Raden Intan Lampung. Koran edisi 20 Juli 2013 itu ditemukannya dari bungkusan barang belanjaan sahabatnya, Inem, di dapur, pagi itu. .... Niku mena bulamban (Kamu duluan berkeluarga).... Nyak tinggal cadang hati (Saya menahan sakit hati)... Mejong nyak dilambung jan (Duduk di atas tangga)... Miwang ngagigik jakhi (Menangis gigit jari) ... Mati sakik ni badan (Alangkah sakitnya badan) ... Bukhasan kena budi (Berencana nikah kena bohong) ... "Memang terasa kalau dibohongi dengan janji. Sakitnya tuh di sini...." gumam Kacung sambil tersenyum sendiri di kamar. Tiba-tiba muncul sahabatnya, Inem, dan menegurnya dengan jeritan. "O alah, Bang.... di sini toh. Pantesan siang ini belakang rumah sepi tanpa dirimu." "Ana kidah... niku, Nem, tekanjat sikindua. Orang lagi asyik dengan Hahiwang, syair kepedihan nasib bahasa Lampung," kata Kacung. "Begini, Nem, kalau cakhani sekam kik sakik ati, bupantun. Bukannya dendam dan anarkis." "Memang begitu adat istiadat yang baik itu, Bang. Tetap berbesar hati walau telah dibohongi, berserah diri. Gusti mboten sare...," kata Inem. "Jangan seperti janji politik. Lain yang dijanjikan, lain pula yang dilakukan," ujar Inem. "Seno do Nem sai Janji Sebudi itu. Waktu kampanye, banyak yang dijanjikan yang mbangun ini-itu, bantuan ini-itu. Waktu mereka sudah jadi, ingat pun tidak," ujar Kacung. "Tapi rakyat tetap saja memilihnya, apa sebab? Halok manei-plitik ya." "Ya seperti mbangun dengan uang utang. Enak wae utang, sing mbayar yo kawulo. Kalau tidak menjabat lagi, aman dia. Lah awak dewe sing terus mbayar utange, flyover ora dadi-dadi," keluh Inem. (baca : lampost.co) Kacung langsung menimpali, agar sahabatnya tidak terlalu jauh bicara politik. "Itulah, Nem, janji politik sama dengan janji sebudi. Jadi politik sama dengan sebudi... wah... udah, Nem, jangan keterusan, bahaya." Kacung terus nyerocos, "Janji sebudi itu... sakitnya tuh di sini," kata Kacung sembari menunjuk arah dadanya. "Alah, Bang... lha sampean janji-janji arep ngerabi opo udu janji sebudi. Ayo kapan realisasinya," kata Inem. Astaghfirullah... sumber : https://goo.gl/RTPhno

Halaman